Pesona di balik bukit

Aiih judulnya….^^ (note : lanjutan dari posting sebelumnya)

Pantai di sepanjang Sawarna, Banten memang menyajikan visualisasi yang cantik. Meski kita disuguhi pemandangan khas setiap pantai, tetapi Sawarna masih menyisakan jejak kemurnian dan keindahan tersendiri. Adalah pantai Lagoon Pari dan Karang Taraje yang merupakan selusuran lanjutan pesisir dari Tanjung Layar dan Ciantir.

Perjalanan menuju Lagoon Pari dan Karang Taraje tidak kami tempuh dengan menyusuri pesisir pantai yang berjarak sekitar 2 km dari Tanjung Layar ke arah selatan. Kami diguide dengan menyusuri perkampungan. Meski jaraknya juga sama-sama sekitar 2 km, tetapi rute via perbukitan ini menyajikan petualangan tersendiri. Bagi kebanyakan orang kota yang jarang menempuh naik turunnya jalan bebatuan berliku, perjalanan menuju kedua pantai ini cukup membuat ngos-ngosan. Jalan setapak dengan bebatuan cukup besar, sementara di sisinya terdapat jalan tanah yang pastinya akan licin jika turun hujan. Jalan tanah itu hanya cukup untuk dilewati satu buah motor.

medan tanjakan yang cocok bagi tua dan muda 🙂

Seperti biasa, sang guide hanya menjawab.. “dekat, kok!” saat ditanya masih jauh atau tidak. Tapi kenapa rasanya kok tidak sampai-sampai ke tempat tujuan ya? Yang membuat terasa melelahkan adalah karena matahari terasa sangat terik menerpa kulit. Panasnyaa…

Tetapi ‘penderitaan’ itu segera berakhir seiring terlihatnya hamparan laut di balik perbukitan. Di ujung jalan pintas, pantai Lagoon Pari yang sunyi telah menanti.

 hamparan pasir putih dengan ombak yang tenang di lagoon

Sinar matahari yang terasa sangat menyengat, yang menciptakan kerutan di dahi dan membuat mata terpicing tak menyurutkan kami untuk sekedar mendokumentasikan gulungan air yang menyapu pantai. Ketika para pemuda-pemudi sibuk bergaya dengan berbagai pose, kelompok ibu-ibu setengah baya langsung mengungsi ke sebuah warung di pinggir pantai untuk melepas dahaga dan bersembunyi dari panas.  Haha.. usia! Di tepi pantai juga terdapat sekumpulan nelayan yang memarkirkan perahunya di pinggiran. Mereka baru saja kembali dari lautan lepas. Kali ini ikan layur yang berhasil ditangkap sedang melimpah.

Menyusuri Lagoon Pari ke arah selatan, kami disuguhi jajaran batu karang yang menyerupai gundukan tangga di pinggiran pantai. Orang Sunda menyebut tangga kayu sebagai taraje. Pesisiran inilah yang mereka sebut Karang Taraje. Ombak di sini jauh lebih kencang dan lebih tinggi dibanding pantai sebelumnya. Di sisi kiri bebatuan besar menghiasi pinggiran pantai.

Baiklah, berlama-lama di pantai ini rasanya memang cukup sukses menghitamkan warna kulit. Meski dibalut sun block, tetap saja kulit wajah terasa perih. Sambil berjalan perlahan menyusuri pinggiran pantai, kami segera kembali ke penginapan. Dan pilihan para setengah baya adalah naik ojek dari tepi pantai sampai batas perkampungan. Sebenarnya ini menjadi dilema juga, kembali berjalan kaki di bawah panas matahari naik turun bukit sepanjang 2 km lumayan menguras tenaga. Jika naik ojek, kami membayar Rp 25 ribu untuk perjalanan super mendebarkan. Terbayang kan bagaimana jalan setapak itu hanya cukup untuk satu motor? Sementara di pinggir kiri kadang terdapat jurang atau tanah perkebunan. Untungnya mereka para pengendara motor yang hebat. The real crosser. Sensasinya lebih seru dari jalan kaki, uji adrenalin luar biasa!

Puas di pantai, kami kembali ke tempat penginapan untuk  makan dan beristirahat. Aslinya sih, saya sempatkan untuk tidur siang. Jam 3 sore kami kembali bersiap untuk masuk ke Goa Lalay yang letaknya tak jauh dari perkampungan. Masih tetap dengan pola medan yang sama, melintas jembatan yang lebih bobrok dibanding 2 rute sebelumnya.

Di sisi kiri dan kanan setelah jembatan terdapat pemakaman penduduk, selanjutnya tepat di depan goa terhampar hijaunya pesawahan.

Untuk masuk ke dalam goa, tiap pengunjung dipungut Rp 5000. Alas kaki yang diperbolehkan hanya sendal gunung. Dipandu seorang penduduk, kami ikut-ikutan menelusuri goa yang gelap. Yang agak mengherankan bagi saya, mengapa aliran air dalam goa ‘seolah’ sengaja dibendung sehingga kedalaman air di sana berkisar dari atas mata kaki sampai batas atas paha sedikit (nah bingung deh ngukurnya? .. 15 – 60 cm mungkin). Mengapa tidak dibiarkan mengalir saja? Ada apa maksud di balik semua ini? Sayang, naluri blogger saya sedang tidur, tak sempat menggali informasi.

Karena gelap, di dalam goa saya tidak melihat apa-apa. La iyalaah.. Dalam hati saya membatin, ngapain juga iseng-iseng masuk ke goa kayak gini? Lalay (kelelawar) yang dimaksud pun tidak ditemukan. Rada-rada parno juga sih masuk ke dalam ruangan gelap dan becek berlumpur seperti itu. Kebetulan goa itu tidak mempunyai jalan keluar, jadi hanya mentok di dalam seperti jalan buntu dan tidak terlalu panjang. Karena risih dengan lumpur (sok-sok higienis gitu), saya memutuskan memutar balik saja dan mengobrol dengan sang penjaga. Ternyata menurutnya, di dalam goa terdapat ular sanca berukuran besar yang biasa tidur di bebatuan. Hadeuuh.. yang bener?