Catatan Haji (7): Armina (2)

Hal-hal yang dilakukan oleh jama’ah haji pada hari Nahr (Idul Adha, 10 Dzulhijjah) adalah melempar jumrah ‘aqobah, menyembelih hadyu, mencukur rambut kepala, melakukan thowaf ifadhoh. Hal inilah yang kami upayakan seharian.

Syaikh ‘Abdul ‘Aziz Ath Thorifiy -semoga Allah memberkahi umur beliau- mengatakan, “Jika salah satu dari amalan haji pada hari kesepuluh di atas dimajukan dari yang lain, maka tidaklah masalah. Jika seseorang menyembelih dulu sebelum melempar jumrah, atau mencukur sebelum menyembelih, atau melakukan thowaf ifadhoh sebelum melempar jumrah dan mencukur, maka tidaklah mengapa. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanyakan demikian dan beliau menjawab tidaklah mengapa. Namun yang disunnahkan adalah mengikuti sebagaimana yang beliau lakukan yaitu: melempar jumrah, lalu menyembelih, lalu mencukur, kemudian melakukan thowaf (ifadhoh).” (Shifat Hajjatin Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, hal. 196).

Pagi hari 10 Dzulhijjah, waktu Mina. Setelah ikut melaksanakan sholat subuh berjamaah di mesjid dekat tenda 20, tinggal kami bersebelas orang berkumpul dan bersiap pergi ke Jamarat untuk melontar jumrah yang termasuk wajib haji. Jika harus berjalan sendiri, saya pasti bingung. Buat saya, kondisi tenda Mina semuanya seperti serupa. Waktu pelemparan jumrah ‘Aqobah adalah mulai tiba dari Muzdalifah dan waktunya terus berlangsung hingga terbit fajar hari pertama dari hari tasyriq. Kami memilih mengikuti waktu afdol melontar pada saat dhuha. Hal ini bisa kami lakukan karena kami hanya segelintir orang. Tetapi bila seluruh jamaah Indonesia begerak di waktu yang sama tentunya akan menjadi tumpah ruah. Kebijakan pemerintah atas dasar keselamatan, menyarankan agar jamaah Indonesia  berangkat menjelang atau setelah dzuhur. Namun demikian, ketika kami akan berangkat ke Jamarat banyak kelompok KBIH yang telah melaksanakannya sebelum subuh dan kembali ke tenda, jadi kami selisipan di jalan sebelum masuk ke jalan satu arah. Menurut pendapat ulama, dibolehkan bagi orang yang lemah untuk melempar jumrah sebelum terbit matahari. Bahkan dibolehkan baginya ketika ia datang dari Mudzalifah untuk langsung melempar jumrah ‘Aqobah walau sebelum fajar.

Kami bergerak mengiikuti arah para jamaah dari seluruh penjuru dunia. Berjalan sewajar mungkin sambil bertalbiyah. Larut dalam dzikir. Tetap semangat. Suasana menuju Jamarat terasa kondusif, bisa dilewati, dan tidak berdesakan. Cukup aman. Tidak seperti bayangan ketakutan saya akan tragedi terowongan Mina atau apapun. Alhamdulillah lancar. Saya tidak tahu seberapa jauh kami berjalan. Kami tiba di lantai 3 sekitar jam 7 pagi untuk melontar. Pas waktu dhuha. Sepertinya saya melakukan sedikit kesalahan saat melontar karena terlalu bersemangat. Mendadak jadi ragu-ragu lalu membuka panduan manasik. Beristighfar semoga Allah mengampuni kekhilafan saya. Rekan seperjalanan menangis terharu selesai melontar, perasaan saya campur aduk. Kami mengambil foto sesaat dengan terburu-buru karena penjaga tidak mengijjinkan jamaah berlama-lama di sekitar pilar. Kami langsung turun ke lantai satu untuk melanjutkan perjalanan ke Mekkah. Kami masih bisa tersenyum saat difoto. Masih pagi, masih semangat.

Sesuai urutan, ada penyembelihan hadyu yaitu hewan yang disembelih sebagai hadiah untuk tanah Haram, dan berlaku bagi kami yang mengambil haji tamattu’. Hal ini dulu yang sempat membuat kami galau karena dulu sudah terlanjur membayar untuk potong kambing saat selesai umrah wajib kemarin. Dari buku-buku yang saya baca dianjurkan adalah menyembelih hadyu dengan tangan sendiri. Namun bisa juga dengan membayar ke bank.  Waktu penyembelihannya tidak diperbolehkan sebelum hari Idul Adha. Karena inilah 4 orang dari kami membayar uang 460 SAR ke bank Ar Rajhi tepat sebelum berangkat ke Mina menjelang Tarwiyah kemarin. Saya tidak bisa mempermasalahkan dalil dan pendapat  yang membolehkan atau melarang karena tidak berilmu. Wallahu a’lam. Saya hanya mengikuti kata hati.

Tiba di rute jalan menuju Mekkah, kami mulai bergantian memotong rambut (tahalul). Para jamaah lelaki bergantian saling mencukur rambut kepalanya sampai gundul sebagai amalan yang lebih utama.  Ada yang memakai pencukur yang dibawa sendiri, ada juga yang dipinjami jamaah dari negara lain. Sisanya ada juga yg membayar 20 SAR karena dipotong di salon.  Setelah melempar jumrah Aqobah dan mencukur rambut, larangan ihram sudah tidak berlaku.

Dengan mengikuti rombongan jamaah lain dari berbagai penjuru dunia, kami sama-sama berjalan menuju Masjidil Haram. Di sepanjang jalan, para penjaga menyemprotkan air ke wajah dan tubuh kami untuk mencegah dehidrasi. Sempat berhenti sesaat untuk melepas pakaian ihrom, mencari makanan dan minuman karena terakhir kali makan makanan berat sewaktu di Arafah kemarin menjelang berangkat ke Muzdalifah. Air zamzam bisa diperoleh di kran-kran air sepanjang jalan.

Tepat jam 9 pagi kami tiba di Masjidil  Haram untuk melaksanakan thawaf Ifadhoh yang termasuk rukun haji. Tidak ada akhir waktu untuk thowaf ifadhoh menurut mayoritas ulama. Kapan saja dilaksanakan, maka thowaf ifadhoh tersebut sah. Kebanyakan dari jamaah teman-teman kami, melaksanakan thawaf Ifadhoh setelah kembali ke hotel setelah mabit di Mina sampai 12 Dzulhijjah (Nafar Awal).

Kami tiba dalam keadaan berpisah-pisah karena ada yang ingin ke toilet, ada yang langsung masuk ke mesjid. Tetapi jika sudah masuk mesjid sudah terbilang aman. Ketika masuk ke Masjidil Haram, ternyata kami diarahkan untuk berthawaf Ifadhoh di lantai dasar. Suasana saat thawaf cukup ramai tetapi belum terlalu penuh. Selesai thawaf, dilanjut dengan Sa’i sampai kira-kira jam 11 siang. Di sini rombongan kami berpencar. Karena saya selalu memakai topi ciri khas saat kemanapun pergi, jadi memudahkan teman lain untuk mengenali dan berjanji bertemu di pintu Marwah setelah selesai Sa’i. Di sini kami sempat shalat Dzuhur sebelum bergerak pulang ke Mina. Jangan tanya seperti apa rasanya kaki ini, pegal luar biasa. Saya bertiga sampai shalat dzuhur dengan duduk di kursi karena kaki tak mampu menahan berat badan.

Suasana di luar masjidil Haram di waktu tengah hari bisa dibilang terik luar biasa. Jujur saja, saya keder luar biasa. Inginnya kami bisa mencarter mobil sampai perbatasan menuju Mina, tetapi ada miskomunikasi. Suasana agak sedikit menegang. Satu orang mengatakan tidak ada mobil. Benar memang tidak ada mobil ke arah kami akan pulang, karena hanya diperuntukan untuk pejalan kaki. Anne bersikeras ingin naik mobil karena merasa tekanan darahnya meningkat dan pusing. Tetapi kami harus bergerak ke arah terminal Syib Amir, tempat biasa kami datang dengan bis sholawat dari hotel. Hanya saja jarak terminal dengan pintu Marwah lumayan jauh. Meski lelah luar biasa dan sakit kepala, saya tak ingin bolak-balik gambling mencari mobil. Akhirnya memutuskan untuk berjalan pulang dengan rute yang sama. Aslinya saya takut kesasar.  Kami harus tiba di Mina sebelum waktu maghrib. Jadi kami berpisah dengan Anne, sementara suaminya juga terpisah dan belum bertemu. Saya berpegangan suami dengan segala alasan.. kkk. Di momen seperti itulah saya merasa sangat beruntung bisa pergi haji bersama keluarga. Kalau saya sendiri, entah apa jadinya.

Tersisa 9 orang yang masih terkumpul, mulai jam 1 siang kami berjalan perlahan. Tepatnya saya yang terseok-seok. Karena salah memakai alas kaki, telapak kaki saya sakit sekali saat dipakai melangkah. Belum lagi, sakit kepala, batuk dan kehilangan suara yang saya alami sejak hari Tarwiyah mulai terasa bertambah-tambah. Saya bertahan dan bolak-balik bicara dengan diri sendiri. Saya harus kuat, tidak boleh menyerah. Perjalanan ini tidak ada apa-apanya dibanding apa yang pernah dilakukan Rasul dan para sahabatnya. Setiap kali saya merasa down, saya cuma berkata dalam hati.. dulu tidak ada peneduh jalan, hanya bebatuan gersang, tidak ada kran air zam-zam dingin di sepanjang jalan, tidak ada yang menyemprotkan air ke para jamaah, tidak ada ini, tidak ada itu. Jangan cengeng! Karena cuaca yang panas, saya nekat mengkonsumsi dan menyiramkan air zamam dingin di atas kepala setiap ada kesempatan. Pilihannya antara dehidrasi atau tambah sakit. Jangan ditanya seperti apa penampakan kami. Saya yang jelas kucel, kuyu, bau keringat. Belum ada makanan berat yang masuk ke perut karena tidak berselera ditambah sakit gigi (wii..lengkap sudah). Kami hanya memakan cemilan yang memungkinkan ditemukan dan bisa dibeli sepanjang jalan.

Sampai di Jamarat, kami sempat kesasar. Untungnya pemimpin regu kami bisa berbahasa Arab dan menanyakan kepada polisi disana. Itulah yang saya takutkan. Kesasar di wilayah Mina. Jika tak berhasil menemukan tenda, asal sudah masuk wilayah Mina, maka kami akan baik-baik saja. Khawatir, saya yang terbilang masih ‘muda’ saja ketakutan dan tak berdaya. Bagaimana dengan jamaah yang lebih sepuh? Kami dialihkan menuju suatu arah jalan yang bertambah jauh dari rute berangkat. Karena jalan saya yang lambat, akhirnya kami benar-benar berpencar. Lia beserta suami dan ibunya berjalan dengan gagah. Kalah saya oleh seorang ibu berusia 67 tahun. Hanya saya, Erna dan suami masing-masing yang masih jalan berdekatan.

Di sepanjang perjalanan menuju tenda Mina setelah Jamarat, kami tidak diperkenankan duduk untuk istirahat. Biasanya penjaga akan mengusir kami untuk segera melanjutkan perjalanan. Tega memang.. Saya melihat banyak sekali jamaah yang tersasar dan bingung mencari tendanya. Saya sempat bertemu dengan seorang ibu tua yang menunggu di perempatan jalan. Katanya sedang menunggu suaminya. Ia tak bisa bahasa Indonesia,  berasal dari Tarakan. Meski tak tega, akhirnya saya tawarkan botol minum milik saya dan kurma sisa perjalanan karena khawatir ia dehidrasi. Ia tersenyum dan langsung minum. Saya juga tak tahu harus mengantar kemana, jadi terpaksa saya tinggal. Tak lama saya didatangi polisi Saudi yang menanyakan kenapa ibumu ditinggal? Saya bilang..saya dari tenda 20, ibu itu dari tenda 3.  Tak jauh dari situ, saya juga bertemu dengan jamaah dari jawa Barat yang berasal dari tenda 18 yang juga kesasar. Dekat dengan kami. Masalahnya mereka-mereka sudah bolak-balik mengitari maktab India dan Pakistan sebanyak 4 kali, jadi menyerah untuk mengikuti kami yang sama-sama tak tahu jalan. Sempat bertanya dengan jamaah Indonesia, tapi ada yang menjawab tak pasti ada juga yang kabur. Ya sudahlah, akhirnya kami jalan lurus terus mengikuti insting.  Kebetulan kemarin saat Tarwiyah, saya sempat berdua suami berkeliling melihat keadaan sekitar dan menemukan petunjuk jalan yaitu stasiun pemantau kualitas udara yang berada di belakang tenda kami.

Alhamdulillah, sekitar jam 5 sore akhirnya kami tiba di tenda 20 lagi. Saya langsung bergerak menuju ibu teman sekamar kami dan minta air karena kelelahan. Si ibu langsung membuatkan teh manis, dan menyuruh beristirahat. Sebenarnya kami–kami yang datang telat ini dipelototi tim kesehatan yang merasa bahwa kami membandel. Kami memang belum menginjakkan kaki ke tenda lagi setelah berpisah di Muzdalifah dini hari. Kami bersikap biasa saja karena itu sudah menjadi keputusan kami saat melakukan tanazul. Saya berusaha sok kuat padahal rasa lelah terutama di kaki ini tak keruan. Ditambah sakit kepala, flu, dan tak berhenti batuk. Dokter langsung memegang kening saya, dan berkata bahwa saya harus tinggal di tenda, istirahat, tidak boleh kemana-mana. Malamnya saya diberi kapsul binahong oleh teman seperjalanan tadi, dan Alhamdulillah rasa sakit di kaki berkurang keesokan harinya.

Hari itu 10 Dzulhijjah, kami bersebelas telah selesai melaksanakan segala kegiatan yang berkaitan dengan ibadah haji dan sudah terbebas dari larangan-larangannya. Doa saya cuma satu, semoga Allah menerima segala usaha dan amalan yang kami lakukan. Aamiin.

Referensi : https;//rumaysho.com/2915-amalan-haji-pada-saat-idul-adha

Satu tanggapan untuk “Catatan Haji (7): Armina (2)

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s