Dibalik itinerary

Ada sedikit yang tersisa dari perjalanan kemarin. Buat saya sih seru, buat yang lain belum tentu. Ada yang penting gitu? Ya, itinerary.

Itinerary merupakan an established line of travel or access atau disederhanakan menjadi perencanaan rute perjalanan. Sumpah, jaman dulu mana ngerti saya itinerary itu apa? Ternyata setelah kerap bepergian, biasanya kami selalu diberikan semacam daftar kegiatan oleh panitia penyelenggara. Baik menyangkut pernak-pernik perjalanan maupun kegiatan itu sendiri.

Enaknya jika kita mengikuti kegiatan sebuah grup, kita tinggal duduk manis terima jadi sampai di tempat tujuan. Tak perlu repot memikirkan akan naik apa, kemana, dengan siapa, biaya berapa, ketemu siapa dan banyak pertanyaan lainnya. Nah, lain halnya jika kita bepergian secara mandiri. Di sinilah peran penting sebuah rencana yang matang, agar sebuah perjalanan berlangsung sempurna.

Sebetulnya hampir semua perjalanan saya tidak selalu mempunyai itinerary yang saklek. Bahkan dipastikan bisa berubah sesuai situasi dan kondisi, hati dan keuangan. Term and condition are adjusting katanya. Mungkin judulnya jadi sedikit suka-suka hati gitulah. Ya, buat saya sebuah perjalanan itu harus dinikmati dengan sebaik mungkin karena belum tentu kita punya kesempatan untuk kembali lagi. Tapi sebuah rencana yang matang pun kadang bisa berakhir dengan perencanaan ulang yang serba membutuhkan segala sesuatu yang ekstra. Waktu, tenaga, dana, dan pikiran.

Sebenernya gue tuh ngomong apa sih? Ngalor ngidul banget…

Apa saya masih ga rela gara-gara rencana yang tidak matang, jadi menyebabkan harus membeli tiket baru dan bukan promo? Hehe, dah basi kali.. Ok, saya mau sharing cerita di balik ketidakmatangan sebuah perencanaan perjalanan.

Kemarin sempat disebutkan di postingan awal bahwa saya harus mencari tiket baru untuk pulang hanya dalam jangka waktu seminggu. Awalnya karena kami low budget traveller, maka kamipun akan teguh kukuh bersikeras memakai penerbangan low budget saja. Tapi karena salah setting waktu di awal pemesanan, jadwal ketibaan *halaah..bahasanya* maksud saya kedatangan di Indonesia jatuhnya terlalu malam. Jadi segalanya harus diubah. Dua negara euy, karena ga ada direct flight. Saya pun kembali memutar otak bagaimana caranya agar tidak terlalu banyak bersedekah pada pihak yang tidak semestinya. Tapi itulah serunya, karena kepepet otak kita biasanya sedikit lebih cerdas karena dipaksa berpikir. Meski kadang-kadang tulalitnya tetap kambuh juga.

Iya, masalahnya karena bandara untuk penerbangan low budget letaknya berbeda untuk penerbangan umum. Jadi kami memutuskan menjadwalkan 2 penerbangan ini dalam satu terminal untuk efisiensi waktu. Berangkat dengan low budget, pulangnya normal *bilang aja karena pengen berjejak di bandara bagus seperti ibu bos yang ikut meeting kemarin*.

Saya kurang tau ya, apakah langkah yang saya buat salah atau benar. Kami melewati proses imigrasi dua kali (menyerahkan kartu arrival dan departure) di hari yang sama di lokasi transit, karena penerbangan AA belum menyediakan layanan lanjutan yang tidak perlu melewati proses imigrasi untuk rute pilihan saat ini. Sementara untuk kepulangannya juga idem, dua kali masuk dan keluar imigrasi karena kami memilih airlines yang berbeda.

Untuk lokasi LCCT kami tidak mempunyai masalah berarti, ada sisa tiga jam jeda di LCCT sebelum melanjutkan perjalanan. Jadi masih bisa bernafas sedikit untuk ke mushola dan menghabiskan RM di counter Bodyshop *racuun*. Tapi pulangnya? Hmm.. kami berubah menjadi sprinter gadungan yang dengan ribetnya menggendong ransel berat dan geret-geret koper kabin. Ngos-ngosan berlari-lari dari terminal kedatangan menuju keberangkatan sambil melewati antrian imigrasi yang panjang banget. Jeda waktu antar penerbangan hanya dua jam saja. Ya ampuun..deg-degan banget!

Selesai urusan imigrasi, kami bersegera menuju level 5 KLIA untuk terminal keberangkatan. Karena belum melakukan check in, maka kami pun melakukan self check in di kios KLM. Sedikit nekat karena kami belum pernah self check in di sini tapi harus dilakukan karena penumpang yang mengantri di desk KLM cukup banyak. Untungnya petunjuk di mesin mudah dimengerti. Mula-mula saya mengalami kesulitan karena mesin scanner tidak mau membaca barcode paspor, tapi karena ada pilihan manual kami memasukkan data secara manual. Perlahan-lahan, satu demi satu dan berhasil. Alhamdullilah, lega rasanya setelah melihat boarding pass kami bisa keluar dari mesin.

Jujur aja, saya baru sekali mencoba self check in di Garuda karena berangkat dengan lenggang kangkung tanpa bagasi. Atau palingan menggunakan fasilitas web check in di AA, karena terhitung bulan September AA akan menambah biaya Rp 30 ribu untuk para penumpang yang check in di desk. Salut. Maskapai lokal lain? Sepertinya belum menerapkan fasilitas ini.

Urusan boarding pass beres. Kami berlari lagi menuju konter imigrasi yang kebetulan pengunjungnya tidak sebanyak di terminal kedatangan. Tak sampai 15 menit proses imigrasi sudah selesai. Lalu apakah profesi sprinter juga selesai?

Ternyata belum saudara-saudara. Nomor gate untuk KLM adalah 32, sementara kami berada di gate H building A. Jadi kami harus ke gate 32 menggunakan aerotrain yang bolak-balik mengantarkan penumpang ke tiap gate. Dengan tertib para penumpang naik ke aerotrain, saya ikutan juga. Duuh, harusnya Soetta juga punya dong! Tak sampai sepuluh menit kami sudah tiba  di area keberangkatan. Masih ada waktu sekitar 40 menit untuk meluruskan kaki dan melepaskan gembolan yang sedari tadi diajak berlari-lari. Kami menuju musholla untuk menjama’ shalat dzuhur dan ashar.

Tiba di ruang tunggu, kami menggelosor dengan lunglai. Ya ampun, pundak rasanya pegel banget. Kaki rasanya mau copot. Pake high heels pula *centil sih*. Udah ga kuat. Capek! Tapi sepanjang mata memandang, baru saya sadar jika dalam penerbangan ini benar-benar universal. Orang Eropa dan Asia bercampur dalam satu maskapai. Dan saya baru sadar juga, jika saya yang selama ini merasa tinggi mendadak jadi tinggal sepundak para pramugarinya. Oh, tidaak!

Tetapi bagi saya pengalaman menggunakan KLM ini cukup seru dan berharga. Saya yang belum pernah ke benua Eropa maupun Amerika seperti mendapat pencerahan, bahwa maskapai asing yang serba biru ini tidak memajang gadis mulus nan muda belia sebagai pramugari. Kebanyakan sudah cukup berumur, sangat ramah dan tinggi-tinggi. Aduh, serasa jadi menciut. Terasa banget perbedaannya. Ya, maklum selama ini kan di situ situ aja.

Hikmah yang bisa diambil dari tulisan ga jelas ini?

1. Jangan nekat seperti kami. Usahakan untuk mengambil jeda minimal tiga jam untuk dua penerbangan di hari sama, agar dapat mengakomodir hal-hal yang tidak diinginkan. Apalagi jika maskapai yang digunakan berbeda merk. Selain mencegah badan anda rontok sehabis pulang.

2. Mencoba sesuatu yang baru (meski buat orang lain jadi barang lama) akan memberikan sebuah pengalaman yang menyenangkan. Setidaknya kita bisa melakukan hal-hal dalam keadaan terpaksa dan melatih kemandirian.

3. Jika membuat itinerary, harus dengan matang dan terencana. Membeli tiket pada season promo memang lebih memangkas budget tapi persiapkan hal-hal yang mungkin terjadi. Lakukan pencarian informasi tentang lokasi gate ataupun bandara yang dituju di internet supaya tidak terlalu terlihat seperti si kabayan saba kota.

Happy travelling ya..