Icip-icip makanan di kota Padang

Perjalanan ke Padang dan Bukittinggi kali ini terasa kurang berkesan. Bisa jadi karena telah menjadi rutinitas yang kami lakukan bertahun-tahun, disamping tidak punya ide untuk bereksplorasi lebih jauh. Tahun lalu, kami masih sempat keliling pecinan dengan naik delman. Singgah di mesjid Ganting. Berjalan-jalan di sekitar pantai, lalu menyusuri jembatan Siti Nurbaya. Sebelumnya diajak menikmati sunset di pantai Bungus dan sempat mendaki menara pengawas atau (mungkin) mercusuar. Tidak lupa berburu keripik sanjai dan dakak-dakak di jalan Nipah.

Selama di Bukittinggi pun, setahun lalu kami sempatkan untuk mengunjungi Panorama, Goa Jepang, kesasar-sasar nyari Fort Rotterdam, masuk kebun binatang, dan yang paling utama adalah jalan-jalan di Pasar Atas dan Pasar Bawah.. *belanja maksudnya*. Hehe, bener-bener semuanya dijabanin. Yang dilewatkan saat itu kami tidak berwiskul. Makan seadanya di tempat seketemunya.

Kali ini di sepanjang perjalanan menuju Bukittinggi sebenarnya cukup tergoda juga untuk singgah di setiap titik yang sekiranya menarik. Sate Mak Syukur di Padangpanjang sudah pernah dijajal. Adapula Sate Mak Alam, tapi sewaktu kami lewat warungnya masih tutup.  Terlihat juga warung-warung usaha kue panyiaram yang banyak terdapat di sekitar Lembah Anai. Wangi gorengannya khas sampai tercium ke dalam mobil. Atau kedai kue bika yang banyak dijumpai di Koto Tangah tapi karena diburu pekerjaan yang harus diselesaikan, maka cita-cita tersebut harus dibaikan.

Maka sesampainya di Bukittinggi, makan siang kami berada di restoran Selamat yang terletak di dekat pasar. Mau cari warung nasi kapau Uni Lis yang kondang kok ga ketemu-ketemu, hehe.. payah! Sempat pula melewati warung makan yang katanya enak dan terletak di bawah jembatan yang menghubungkan kebon binatang, tapi itu pun ga jadi. Ya sudahlah, seadanya aja.. yang penting efek puyeng dan nyaris mabok gara-gara jalan yang berkelok-kelok di daerah Agam bisa teratasi.

Tapi di Padang, kami berburu kuliner. Puas menikmati es cendol pinggir jalan dan juga  es duren Ganti Nan Lamo di Pulo Karam seharga 14rb. Depot es ini kondang banget, berdiri sejak tahun 1960. Di kemasan take away-nya ada alamat website http://www.gantinanlamo.com, pokoknya ondeh taraso lamaknyo. Harusnya sih cobain juga ya es duren Iko Gantinyo yang ada di seberangnya, hehe.. buat perbandingan. Setelah itu kami berburu sate Itjap di Jalan Rasuna Said seharga 12rb per porsi, rasa bumbunya masih tahanlah dibanding sate Danguang-danguang  di Simpang Kinol yang puedess banget! Enhaii dilewatkan begitu saja, karena kalo nyari serabi enakan di Bandung aja kali ya…

Tak lupa kami mencicipi paket martabak Malabar special dan teh talua seharga 30rb. Padahal dimakannya berjama’ah, tetep aja mengenyangkan. Maklum biasa beli martabak telor murahan, sekalinya dikasih yang enak malah jadi klenger, hihi… Bofet Malabar yang  terletak di jalan Thamrin (Pondok) menjual berbagai makanan khas India dan selalu penuh oleh pengunjung. Menu makanannya beragam : martabak mesir, malabar spesial, istambul (ga ngerti bedanya), roti cane, roti palanta, roti tampal, nasi goreng, nasi gulai, nasi sop, dll. Sedangkan nasi biryani dan nasi samin hanya tersedia pada hari tertentu. Yang paling saya suka adalah teh telur (talua) hangat, jangan bayangkan rasanya bakalan amis. Sedap kok! Varian lainnya adalah kopi talua dan teh/kopi tarik.

Makan malam hari pertama kami lakukan di restoran Pagi Sore yang sudah berdiri sejak th 1947. Kayaknya ada yang salah dengan makan malam itu, harganya kemahalan untuk lauk yang hanya satu jenis. Entah salah hitung atau memang harganya segitu. Sebuah rumah makan bergaya lama yang dindingnya dipenuhi berbagai foto orang terkenal. Sedangkan sebagai makan siang yang dibekal untuk dimakan di ruang tunggu bandara, kami bungkus lotek Pak Datuk depan Puskud dengan porsi biasa seharga 8rb, plus telor 10rb. Ini baru maksi ideal.. menu vegetarian dan murah. Untuk sementara Soto Garuda kami lewatkan dulu, kapasitas perutnya kurang gede 😀