Mencicipi kuliner Makassar adalah saatnya melupakan kolesterol dan diet ketat. Meski itu tidak berlaku pada diri saya yang punya badan tipis. Tapi tetaplah kita harus menjaga asupan makanan secara seimbang. Boleh sesekali sedikit ‘nakal’. Tapi kalo timbangan langsung membengkak jangan salahkan para penjual makanan itu lho ya!
Wisata kuliner di Makassar ini rasanya hampir mirip dengan Bandung dan Medan, penuh pilihan. Mungkin juga ada tambahan kota lainnya, tapi pendapat pribadi saya lebih cenderung pada 2 kota tadi.
Hari pertama, sesampainya check in di hotel, kami langsung berburu makan siang yang telat. Yup.. sudah jam 15 sore. Seorang teman mendadak ngidam Mie Titi (nama kedai) -sejenis mie kering yang disiram kuah capcay+potongan daging ayam, dan teman-temannya-. Naik taksi dari hotel Santika menuju jalan Irian, asal muasal Mie Titi ternyata warungnya belum buka. Lalu pindah ke Mie Anto, eh juru masaknya belum datang, hihi… Mau ke cabang Mie Titi di Panakukkang yang buka dari jam 11 siang, kejauhan. Fotonya saya ambil dari sini.
Akhirnya berlabuhlah kami di warung coto Nusantara, yang berada di seberang menara Makasar. Untungnya masih ada karena biasanya warung coto buka dari pagi, meski dagingnya tinggal sedikit. Hantaam… laper euy! Pilihan coto ini berdasarkan jarak saja, maklum perutnya sudah demonstrasi *secara di pesawat makanannya ga nendang banget*. Ada beberapa pilihan yang lumayan ngetop, warung coto Maros di Jl. Urip Sumohardjo, coto Daeng Bagadang di Jl. Karunrung, atau coto Pattirane dan coto Paraikatte. Sisanya masih banyak warung coto bertebaran di seantero wilayah. Harganya bervariasi.
Pilihan di warung coto terdiri dari daging dan jeroan (ati, babat, paru, dll). Satu porsi di warung ini dihargai 12 rb rupiah. Jangan khawatir.. mangkoknya kecil, porsinya hampir mirip dengan soto semarang. Jadi kalo yang doyan makan bisa nambah lagi. Foto saya ambil dari sini. Tata tertib makan coto akan selalu ditemani dengan ketupat atau buras yang harganya 1000 rupiah. Jadi kemarin saya habiskan 1 porsi coto dan 4 buah buras.. *maklum asli Indonesia, suka rada puyeng kalo ga nemu nasi :)*. Senior saya bercerita tentang masa kuliahnya jaman baheula, katanya sebagai mahasiswa mereka punya trik jitu biar kenyang makan coto. Burasnya dibanyakin, trus minta tambah kuahnya sampai penuh lagi. Jadi perut mereka kenyang sekaligus hemat, hehe.. pinter.
Karena ga makan sayuran, kami tergoda untuk mencicipi mangga golek yang penampakannya cantik banget. Di sepanjang jalan memang banyak penjual mangga, jambu, sirsak, dan durian. Meski menurut teman saya, saat ini belum musimnya jadi harga buah masih agak mahal. Tapi biarlah meski 1 kg mangga golek yang isinya 2 buah ini seharga Rp 20rb, rasanya dijamin tak mengecewakan.
Dari warung coto Nusantara, kami berjalan kaki guna menyeimbangkan asupan protein dan lemak tadi *merasa bersalah*. Melipir jalan melewati benteng Rotterdam. Kali ini udah ga penasaran masuk Rotterdam, tahun kemarin udah puas mengeksplorasi ke dalamnya. Karena iba pada sang penjual pisang epe yang putus sekolah, akhirnya 2 porsi pisang epe kuah durian seharga @Rp 6rb singgah di tangan kami. Seporsi isinya 3 buah pisang kepok yang dibakar di atas arang lalu ditekan supaya gepeng.
Lanjut menuju hotel, kami berjalan melewati kawasan shopping center, Sumba Opu yang terkenal dengan toko perhiasan emas dan cendera mata. Banyak pilihan toko tetapi harga yang ditawarkan relatif seragam. Kami tak berniat belanja oleh-oleh untuk sementara. Tetapi marning jagung makasar, kacang disko, kue kenari baruasa, sarabba (minuman jahe ala sulsel sejenis bajigur), bassang (bubur jagung) sudah masuk dalam daftar hitlist belanja.
Tak lama kami berjalan, tiba-tiba turun hujan lumayan deras. Memaksa kami untuk berteduh di supermarket terdekat, Gelael. Mba Ida semangat banget beli kue-kue basah tradisional Sulsel favoritnya. Ada bolu peca (bolu yang terbuat dari tepung ketan dan telur itik atau ayam yang disiram dengan kuah gula -kebayang ga manisnya seperti apa?-), kue pais pisang, dan barongko. Infonya bisa dilihat di sini. Dipikir-pikir siapa yang mau makan ya? Perasaan perut udah kenyang banget deh…
Ketika hanya tinggal gerimis, kami melanjutkan perjalanan. Tetapi rupanya tergoda juga oleh lambaian kedai jalangkote (sejenis pastel), panada dan lumpia Makassar yang bertebaran di jalan Ranggong. Kalo mba Ida sih sukanya jalangkote Lasinrang yang ada di Jl. Pangayoman. Akhirnya kami singgah (lagi) untuk mencicipi kudapan di saat gerimis, alasannya sih.. sambil nunggu hujan reda. Per potong kudapan tadi dihargai @Rp 3500. Tiap orang cukup icip-icip satu potong saja. Lalu dengan mantap kembali ke hotel ga pake lirik-lirik lagi. Kalo mau resep jalangkote, salah satunya bisa dilihat di sini.
Malamnya setelah magrib, dua teman kuliah saya menyusul ke hotel. Dan seperti biasa mereka mengajak kami makan di luar. Tadinya sih, mau hang out di pinggir pantai Losari sambil minum jus atau makan kue-kue kecil. Tapi niat melahap mie Titi belum tercapai, sehingga berangkatlah kami ke Mie Titi di jalan Panakukang. Hmm.. mantep deh porsinya. Sepertinya saya harus sepiring berdua. Pengunjung yang lain habis semua lho! Kalo mau mencoba di rumah silakan buka resep dari sini.
mie titi setelah sekuat tenaga dilahap.. tidak ada perbedaan signifikan
Hari kedua, seperti yang sudah saya ceritakan di postingan sebelumnya. kami dijamu habis-habisan oleh kak Hasma. Di rumah bagusnya di Soreang, berbagai hidangan yang dibuat ibunya disuguhkan kepada kami. Meski makan saya hanya sedikit tapi terasa betapa penuhnya perut ini. Kak Hasma membawakan udang pangkep bumbu pedas yang ajib banget plus burasnya untuk dimakan sepanjang perjalanan pulang ke hotel. Mungkin jika memungkinkan dan ga bikin repot, coto dan sop kikilnya akan dibungkuskannya juga untuk kami. Pulang dari rumah kak Hasma, jinjingan mba Ida mendadak beranak pinak. Kami juga kebagian oleh-oleh kacang disko dan kue bawangnya. Makasih banyak lho, kak… hehe.
jamuan makan siang ala kak Hasma
Sorenya, kami singgah untuk memesan otak-otak ikan tenggiri Meitje pesanan kolega di Jl. Gn Merapi, 10pcs seharga Rp 25rb. Ada juga pilihan bakso, abon ikan, atau pisang ijo yang bisa take away. Lalu tak lama kami berjalan-jalan di depan pantai Losari sambil menikmati nyuk nyang (sajian bakso dengan bentuk kotak, bulat, bakso urat, dan pangsit) dan es pisang ijo di resto Sentosa. Saya memilih sepiring berdua, soalnya udah keburu keblenger liat porsinya. Dan ternyata harus dihabiskan pelan-pelan penuh perjuangan. Kabarnya nyuk nyang yang enak ada di resto Ati Raja letaknya di Jl. Gn. Merapi, tapi udah buka cabang di mal Karebossi. Gambar diambil di sini.
Malam harinya karena sepanjang siang ngiler melihat durian yang bertebaran di pinggir jalan, kami berburu durian di Jl. Sungai Saddang. Wah, ternyata masih cukup mahal. Durian kami yang berukuran kecil dihargai Rp 25rb, sementara yang mantap seharga Rp 75rb. Berhubung cuma pengen nyoba aja jadi kami pilih yang kecil, Tapi akhirnya malah minta tambah lagi, dan diberi 1 buah yang lebih kecil sebagai bonus karena ada daging durian yang busuk. Seperti durian lokal lainnya, dagingnya lebih tipis dari bijinya tapi masih manis kok.
Pada kesempatan ini, kami ga mencicipi konro Karebossi, sop saudara, lawa, kapunrung, pallubasa, atau ikan bakar di rumah makan Lae-lae yang terkenal. Baru 3 hari 2 malam perut rasanya udah begah jika harus berhadapan dengan sajian daging lagi. Rasanya sih saya ga akan sanggup menghabiskan makanan dalam satu porsi sajian disana, terlalu banyak.
Hari ketiga, saatnya sarapan di hotel dan kembali menikmati sajian makan siang ala pesawat yang rasanya kalah jauh dengan kuliner kemarin. Saatnya kembali makan seadanya dengan menu rumahan..*sambil ngecek timbangan*.
O..ow, ternyata nambah 1 kg.. saudara-saudara.
Eh, iya.. dalam perjalanan ternyata satu pesawat ama Pasha dan Adelia, plus anak no 2-nya. Aiih, sumpah.. Adelia dan anaknya cantik banget! Biar lebih mantep diupload deh foto yang diambil candid dari jauh pas turun di bandara, hihi..
ngeliat wajahnya Adelia.. mendadak jadi pengen operasi plastik 😀