Sesungguhnya nama Sikuai baru saya ketahui pada tahun 2008, ketika kerap bolak-balik ke Padang untuk urusan pekerjaan. Telat memang. Saat itu terbersitlah keinginan untuk bisa menikmati keindahan pulau Sikuai. Impian lama itu baru saja terealisasi kemarin, saat kami punya waktu untuk melarikan diri dari kenyataan.
Sikuai merupakan sebuah pulau kecil yang indah di pesisir barat Sumatera. Luasnya sekitar 4o hektar, dengan jarak tempuh sekitar 45 menit dari dermaga wisata Batang Arau Padang. Karena dikelola oleh pihak private, untuk menuju pulau ini kita bisa langsung menuju tempat pemberangkatan boat transfer di AW Resto yang terletak di Batang Arau, telpon +62 751 24880. Kami naik taksi dari hotel Pangeran Beach dan membayar 50 ribu rupiah untuk rute yang tidak terlalu jauh. “Harga biasa”, ujar supir taksi.
Kami memilih one day trip dengan jadwal boat transfer DWB – Sikuai : 10.00 & 14.00 WIB sementara dari Sikuai – DWB : 11.00 & 16.00 WIB. Harga tiketnya Rp 250 ribu, termasuk pulang pergi dan nasi kotak. Lumayan mahal? Hm.. iya! Harga itu minimal untuk 3 pax. Untungnya rombongan kami berjumlah 5 orang.
Kami melaju menggunakan perahu bermotor ukuran kecil, cukup untuk 6 penumpang plus pengemudi. Sesaat pergi dari Batang Arau menimbulkan sensasi luar biasa. Warna laut yang keruh di tepi pantai mulai berubah menjadi jernih dan kemudian hijau ketika menjauh dari bibir pantai. Lama-kelamaan laut berubah menjadi biru, yang artinya laut dalam yang kami lewati. Dalam pandangan saya, tak ada batasan antara cakrawala dan laut. Semuanya terasa menyatu.
Sayangnya pihak pengelola tidak memberikan life jacket pada penumpang. Saya lihat hanya ada 2 buah disimpan di bawah kemudi. Ya ampun.. nekat, padahal saya tidak bisa berenang.
Cuaca di Padang sangat cerah setelah semalaman dihadang hujan angin. Kami menikmati hembusan hawa laut sambil berharap ada keajaiban. Menemukan lumba-lumba berenang. Tetapi tak ada lumba-lumba, hanya ikan-ikan tongkol yang berlompatan agak jauh, lalu menyusul atraksi ikan terbang yang ada di dua sisi pinggir perahu. Kehadiran mereka membuat perjalanan kami terasa cepat, sampai suatu waktu kami dihadapkan pada sebuah pulau yang terasa lebih ramai dibanding pulau-pulau lainnya.
Inilah Sikuai dan saya langsung jatuh cinta.
Turun dari kapal, kami dipersilakan masuk ke dalam untuk berkeliling. Tanpa ada penjelasan dari pengelola. Sedikit merasa kecewa tapi hati masih terhibur oleh pemandangan indah yang ada di depan mata. Pantai sisi timur pulau ini memang indah. Pasir putih dengan gradasi warna laut yang terlihat jelas. Jernih, bening, dan tenang. Sunyi.
view dari arah dermaga ke sisi kiri, pantai timur
Mau bilang apalagi? Pasir putihnya benar-benar mempesona. Di pinggir pantai ini terdapat 22 cottage yang disewakan dengan harga kamar beragam, mulai dari Rp 650 ribu – 1,1 juta (termasuk pajak, servis boat, asuransi, makan BLD). Jumlah kamarnya ada 54 buah.
Di dalam resort juga disediakan fasilitas olahraga air. Banana boat, canoe, snorkeling, jet ski dan sewa sepeda/motor untuk berkeliling pulau. Harganya lumayan, berkali-kali lipat dari tempat biasa. Jika enggan mengeluarkan uang ekstra, ada jogging track sekitar 5 km yang bisa ditelusuri. Tapi dipikir-pikir, siapa juga yang mau jalan kaki di siang bolong jam 12 di bawah panas terik yang menyengat?
Jawabannya, saya.
Ya, karena sudah kadung singgah ke sini masa tidak sempat bereksplorasi sih? Maka dengan bertutupkan jaket, kami berjalan berdua menyusuri jogging track. Hwadeuuh…
Namun sayangnya jalan dari sisi kiri dermaga yang mengitari pulau terputus di arah jembatan, maka kami berbalik arah menuju sisi kanan dermaga dan menemukan pemandangan yang cantik. Ada pulau kecil di seberang dan tidak berpenghuni.
Secara keseluruhan pulau cantik ini bisa dibilang kurang terawat. Pengelolaan pariwisatanyapun, khusus bagi one day trip kurang terorganisir. Jika tak bertanya, tidak ada penjelasan apa-apa dari pihak setempat. Pengunjung dipersilakan melakukan apa saja yang diinginkan. Tak lama setelah tiba, kami langsung disuguhi nasi kotak. Bisa makan dimana saja. Hanya saja jika ingin menyewa macam-macam, barulah petugas datang. Karena itu saya kerap mengajak ngobrol siapapun yang bisa saya ajak bicara untuk mencari informasi.
Sesungguhnya pembangunan resort ini sudah berlangsung sejak 1994. Pemilik awalnya seorang pengusaha Minang asli yang juga memiliki hotel Pusako di Bukittinggi. Karena itu masih ada logo Pusako di dekat bangunan restoran. Kejayaan Sikuai hampir berakhir sejak musibah tsunami Aceh melanda. Pihak resort tak mampu lagi menggaji karyawannya. Tidak ada pengunjung yang datang karena ketakutan akan tsunami. Baru 5 tahun ke belakang, resort ini diambil alih oleh seorang pengusaha keturunan Tionghoa Padang yang jatuh cinta pada keindahan pulau Sikuai. Karena itu namanya bertambah menjadi New Sikuai Island Resort.
Kami berjalan menyusuri jalan setapak dari arah kanan dermaga. Di pinggir kirinya masih terdapat pepohonan rimbun. Sedangkan sisi kanannya berbatasan dengan tebing yang langsung menuju laut.
Sambil menahan terik matahari yang menyengat, di sepanjang perjalananan ini kami menemukan beberapa spot yang cantik. Lagi-lagi dengan gradasi warna laut yang terlihat jelas.
Sampai di suatu titik, kami bertemu lagi dengan pantai landai berpasir putih. Inilah sisi lain di sebelah barat pulau yang merupakan tempat paling menyenangkan untuk menikmati matahari tenggelam sambil memandangi pulau tak berpenghuni di seberang lautan.
Ada dua cottage yang berada persis di depan bibir pantai ini. Luas pantai lebih kecil dibanding sisi timur pulau. Jika kami meneneruskan perjalanan melewati jalan setapak, kami akan kembali pada jalur dermaga awal. Hanya saja jembatannya terputus sehingga harus memutar balik. Tapi karena tidak banyak pengunjung, kami jadi merasa sedikit waswas dan tidak melanjutkan perjalanan menuju bukit. Petugas resort yang kami temui mengatakan bahwa masih banyak binatang yang berkeliaran di pulau ini. Ada biawak, monyet, ular, burung dan babi hutan. Bahkan kadangkala sang babi hutan kerap turun dan mengunjungi cottage. Hwaaa…. Kami langsung berbalik arah dan saya memilih berbaring malas di atas hammock. Tak ingin pulang rasanya…
Akhirnya kami benar-benar kembali ke arah sisi timur pulau dan memutuskan untuk meluruskan badan di kursi tepi pantai. Ketika teman saya memilih menonton film Korea via internet (heu.. teteup ya?), saya malah sempat tertidur pulas di bawah sinar yang terik. Tertarik pada sosok yang sedang mengecat ulang kapal nelayan, saya pun kembali bertanya-tanya.
Bapak tua pembawa perahu ini bisa membawa kita berputar keliling pulau dengan membayar Rp 250 ribu untuk sejam perjalanan. Rutenya bebas. Di seberang pulau ini juga ada resort bernuansa alami yang kerap dikunjungi turis asing. Tidak jauh dari Sikuai ada pulau Tagan (moga-moga ga salah nulis). Atau bahkan resort yang lebih terkenal dan lebih ramai yaitu Cubadak Island Resort yang dikelola oleh orang asing. Sekitar 1,5 jam perjalanan dari dermaga, dimana segala pembayaran pun dalam bentuk USD.
Setelah agak bosan karena merasa kepanasan berada di outdoorseperti ini, kami meminta pengemudi kapal untuk kembali ke Padang. Memang lebih baik jika kita bisa menginap di sana untuk menikmati pemandangan indah tanpa merasa kepanasan. Di pulau ini ada jadwal pemadaman lampu yaitu pada jam 10.00 – 16.oo WIB.
Pada malam hari umumnya mereka bisa memancing di pinggir pantai. Biasanya yang banyak ditemui adalah ikan todak (layur), disamping beragam ikan-ikan kecil yang banyak tersebar. Bahkan jika beruntung, tak jarang ikan lumba-lumba pun akan berenang melewati dermaga. Sungguh menyenangkan!
Yaah… semoga suatu saat bisa menikmati keindahan pulau-pulau di Indonesia.