Tidak berteman

Sebenarnya alasan saya posting Tumbling Down Mitch Malloy kemarin adalah sebagai soundtrack suasana hati di kala merasa sepi *tsaaah, mulai*, setelah sebelumnya mengalami krisis pertemanan bertubi-tubi. Masalah sosialisasi yang tidak atau belum tuntas. Atau mungkin akan tetap begitu saja? Saya tidak tahu. Yang jelas meski saya kerap bilang I’ll be fine, tetap saja merasa ada rasa tidak nyaman.

Awalnya sih tetap dalam konsep pertemanan yang biasa-biasa saja dengan kawan sekelas itu lalu dengan intern kami sendiri. Sejak mulai sibuk satu per satu, kami bertiga jadi jarang berinteraksi. Hanya via telpon dari kamar ke kamar atau bahkan tidak sama sekali. Padahal masih satu bangunan. Ditambah lagi ketika mereka mulai menemukan teman-teman yang sesuai dengan generasi. Mereka berencana untuk pergi tanpa basa-basi mengajak serta, membatalkan pergi bersama karena diajak teman lain, atau bahkan bilang, ‘mbak.. elu ga usah ikutan ya.. ini kan acara anak muda!, haha’. Meski masih bisa maklum tapi tetap membuat saya jadi gimana gitu *lebay* dan berpikir inikah balasan atas semua yang sudah terjadi? *aih, dramatisasi*. Perasaan, selama ini saya selalu mengajak mereka jika saya bertemu teman lain atau apapun.

I feel abandoned.

Kalau dengan anak-anak itu sih saya masih bisa dengan cuek mengutarakan uneg-uneg. Dan kami lalu menertawakan kesensitifan saya. Tapi ternyata tetap saja jika harus bersosialisasi dengan orang Indonesia di sini, rasanya agak berat.

Saya baru ngeh rupanya sebagian orang-orang kita memang cenderung tidak lagi welcome. Ini saya sadari sewaktu kami lebaran di kedutaan. Sebagai orang baru, dengan muka tembok kami pedekate dengan para mahasiswa atau teman lain di sana. Berkenalan. Dengan para pemuda berlogak medok, kami bisa tertawa santai. Tapi dari empat perempuan yang ditemui, hanya satu orang yang ramah dan mau mengajak berkonversasi. Itupun karena ia mengenal teman saya sebelumnya. Dua orang masuk kategori standar basa-basi. Satu orang lagi pengen saya pentung, hihi.. nggak deng. Anak itu duduk di sebelah saya. Dan ketika saya mengajak basa-basi mengobrol, saya bak jadi reporter. Tidak ada konversasi. Saya ambil pikiran positif saja, mungkin ia sedang tidak ingin bicara pada orang asing. Tapi memikirkan bagaimana mungkin ia melakukan hal tersebut pada orang yang jauh lebih tua, membuat saya geleng-geleng kepala. Apa gaya anak muda sekarang memang seperti itu?

Ah, saya saja mungkin yang berlebihan. Padahal tidak perlu dipikirkan juga. Biarlah.

Kejadian lain juga berlaku pada dunia perCS-an yang sudah lama saya tinggalkan. Mungkin sudah pernah dengar cerita jika orang kita cenderung lebih welcome terhadap bule, dibanding orang sebangsa. Ya seperti itulah, tidak salah juga meski tidak sepenuhnya seperti itu. Ketika saling berkirim pesan dengan cuek ia membalas pesan sambil ber-elo gue. Apa ia tidak melihat profil orang lebih dulu? Sempat kaget sih, mungkin lazim buat anak muda? Sebenarnya saya juga tidak apa-apa jika harus ber-elo gue end ria, tapi dengan catatan hanya dengan orang yang dekat. Bukan sebatas kenal apalagi cuma via imel. Tapi ya lagi-lagi harus dimaklumi.

Hidup itu memang harus bertolerasi. Jargon harap maklum harus dipegang tinggi-tinggi.

Tapi dari semua itu, yang membuat saya terhina dina adalah ketika salah satu mantanΒ yang sekarang berstatus teman baik tiba-tiba memutuskan untuk tidak berteman lagi tanpa sepatah kata perpisahan *aiih, penting amat*. Padahal sebelumnya sempat terlintas meski biasa saja, apa kami tak perlu terhubung via apapun ya demi ketahanan negara dan bangsa karena semua sudah berlalu. Tapi sampai kemarin itu saya tidak tega meng-unfriend atau sekedar bilang alasannya, karena mengira kami berteman baik. Jadi posisinya saya hide dan jarang berinteraksi. Dan baru kali itu pada hari saya mereply dengan bahasa standar mengucap terimakasih, lantas saya sadar jika tidak lama kemudian saya diremove. I can’t believe it.

Jadi kesimpulannya dari sepanjang tulisan ini yang bikin paling bete ya bagian paling bawah itu, haha..Tapi hikmahnya mungkin ini adalah jalan terbaik bagi saya untuk tak perlu merasa tidak enak hati ketika harus memutuskan pertemanan. Meski berat karena kehilangan satu teman baik lagi tapi rupanya statemen tidak perlu berhubungan dengan orang-orang masa lalu memang harus diaplikasikan. Biarlah dia yang melakukannya agar memori lama saya hilang perlahan untuk digantikan dengan materi lecture baru.

33 tanggapan untuk “Tidak berteman

  1. Semangat Mba Hilsya..
    Memang kadang orang lain tidak bisa memiliki sense of pertemanan yang semestinya. Ada orang yang mati-matian kita anggap deket ternyata ya seperti teman Mba Hilsya itu.
    Kalo saya di tempat kerja malahan lebih parah, karena banyaknya orang yang “seenaknya sendiri” menurut standar saya dan pertemanan yang saya punya pada umumnya, akhirnya berprinsip “I work not to make friends, but if I get one along the way, Im lucky”.

  2. yang penting bukan mbak yg meremove ya …. memang nggak mudha ya mbak menemukan teman yg bener bener teman, kalau dijabarkan bisa panjang deh πŸ™‚

  3. selalu ada yang datang dan pergi dlm kehidupan ini ya Hilsya …
    dan, untuk apa kita simpan dalam hati , bila si teman ini tak pernah menyimpan kita dihatinya …

    mati satu tumbuh seribu deh… πŸ™‚
    love u
    salam

  4. gpp jeng,,,nmnya berteman itu emg ada naik turun moodnya, skrg bs dia benci selangit sm kita wlw tanpa alaan sekalipun, tp ntah nnti atau hr ini dia mnta bnatuan kita, tp jgn prnh menolak membantu ya jeng,,hehe

    aku akan jd teman setiamu looh πŸ˜€

  5. waduh, berasa kesindir. saya termasuk yang susah beramah2 dengan orang lain. seperlunya saja. saya juga cenderung ‘enteng’ me-remove/unfriend teman di dunia maya karena sebel πŸ˜€

    1. kalo ama yg ga deket sih ga masalah.. ya biasa aja.. πŸ™‚
      eh, btw.. saya jd kepikiran.. mungkin cuma saya yg nganggep temen sementara dia ngga.. hahaha..

      yo wis, udh kelaut kok..

  6. dinamika pertemanan memang selalu bikin gregetan *sokbijak#
    hehehe..saya pernah berada di sebuah lingkungan yang berbeda, lingkungan yang juga memandang saya sebagai sesuatu yang berbeda. tapi seiring berjalannya waktu, perbedaan itu menipis, tak hilang seutuhnya. dan sisi yang tipis itu diisi oleh kehadiran sahabat-sahabat sejati yang menghargai perbedaan. πŸ˜‰

  7. maaaak… jangan galau… hihihi… πŸ˜‰
    aku sering mak dibegitukan sm yg tadinya temen, tapi ternyata semua gak ada bandingannya sm sakitnya kejadian terakhir yg aku alami, pisah sm pasangan.

    hihihi…
    tp skrg dah happy2 lagi sih mbak aku… mau temen ayok nggak juga gapapa…
    masih banyak orang baik ya gak mbak… tapi yg elo-gue sm orang yg lebih tua itu kayaknya gak banget deh mbak… anak muda generasi Y apa yah? hihihi

    1. udah selesai nulis biasanya galau berkurang, hehe..
      yg elo gue sih..cuma kaget aja, wong ga kenal sisanya egp.. santai..

      kasus terakhir, hahaha… mo kayak desy ratnasari ah.. no komen

  8. hmmm ini benernya udah baca kalo tak salah hari senin..tapi karena lemot koneksi internet kala itu aku nggak bisa masuk kolom koment..hmm sabar yah mbak….hmm sing penting bukan kita yang memutus tali silaturahim..kalo emang dia merasa rugi banget .berteman ma kita sampai sampai meremove..yo bene.silahkan..mungkin emang pahit *aku yo pernah merasakan…tapi ra sah dipikir..biarken sahaja..hidup must go on..tanpa dia…..bismilah…allah maha tahu apa yang tersembunyi…..sing penting tetap stay cool…mbak pasti bisa…sahabat sejati memang susah dicari…ra masalah mbak…santai saja…jadikan allah sahabat terbaik..tempat ngadu..biar plong…

    1. klo soal remove-an sih ga masalah, tp statusnya itu ..
      ga tau mam.. sekarang sih dianggap ga ada apa-apa aja.. πŸ™‚ mungkin karena bakalan banyak yg lebih penting dr itu

Tinggalkan Balasan ke niee Batalkan balasan