Selimut pusaka

Sebagai orang yang berbodi tipis, saya gampang sekali kedinginan di setiap momen. Terlebih pada saat akan tidur. Entah tidur siang apalagi malam, saya tidak bisa lepas dari selimut. Bagian kaki masih bisa nyaman tanpa terselimuti, tapi dari bagian pundak dan tangan harus tertutup. Apalagi jika harus pulang ke kampung halaman, baik yang di kaki gunung Gede maupun di kaki gunung Merapi. Idem ditto diselimuti semua, berlapis-lapis malah.

Ketika akan menikah dahulu, ibu membuatkan saya sebuah selimut berukuran 1,5 x 2 m. Terbuat dari bahan kain flanel berwarna campuran biru dan putih bermotif bintang berwarna kuning. Bagian dalamnya dilapisi busa tipis, dan pinggirnya diberi pita biru muda. Sangat tidak romantis memang, karena kain itu sebenarnya diperuntukan bagi anak-anak.

Tapi tak dinyana, selimut itu seperti menjadi bagian dari hidup saya. Tak pernah lepas setiap akan tidur di rumah. Saya tak bisa tidur tanpanya. Bahkan ketika bentuk dan warnanya sudah tak lagi secantik dahulu, saya tetap setia. Padahal sudah banyak bolong-bolong di bagian busanya karena terlalu sering dipakai.

Selimut buluk itu menjadi benda kenangan favorit saya. Usianya setara dengan pernikahan saya, 11 tahun lebih. Karena beralih status menjadi ‘barang pusaka’, baunyapun seperti sudah menjadi satu paket dengan aroma tubuh saya. Campur aduk. Anak-anak sampai tidak pernah mau memakai selimut itu. Selain tidak suka memakai selimut, mereka juga selalu beralasan “Nggak mau pake ah, bau mama”.

Deuuh..  pada sombong banget yak?

=====

“Artikel ini diikutsertakan dalam acara GIVEAWAY “11 tahun Bersamamu” oleh Tarry KittyHolic.”

44 tanggapan untuk “Selimut pusaka

  1. wah mak …idem soal selimut..nggak tahan dingin dan nggak suka AC apa daya dikeroyok sama anak dan ayahnya yang hobby banget dingin AC harus selalu dibawah 24 derajat..dan nggak suka pake selimut…
    Selimut kenangan 🙂 menyatu…jadi kalo bepergian dibawa atau piye mbak?? nggak kan?? hehehe..
    semoga sukses kontesnya

  2. ya ampuuuuun Hilsya….
    kebayang deh baunya dah nempel banget …. 😀
    pantesan aja anak2 gak mau ikut pakai itu selimut….
    ( tapi warnanya masih bagus ya, gak luntur)

    semoga sukses diacara GA ini ya Hilsya……
    salam

  3. Selain baunya sudah menyatu tubuh, tekstur benangnya pasti jg sudah mersahabat dengan kulit ya Mb Hilsya. Jadi bakal ada usaha sedikit dalam penyesuaian kalau sampai di ganti. Seperti kalau saya pakai daster butut di rumah, sdh jelek, tapi karena nyaman banget sampai sekrang masih suka di pakai 🙂

  4. haha..berbody tipis? smua orang kan begitu bu..hihi..sama tuh kayak simbahku, punya selimut pribadi yang keramat yang gak mau dipake orang lain, hihi..
    salam

  5. wow .. tahan lama ya sampai 11 tahun, pasti selimut itu juga saksi banyak peristiwa dlm kehidupan mama Hilsya 🙂

    sukses ya buat kontesnya 🙂

  6. Jadi penasaran “bau mama” seperti apa ya? hahaha…. Hebat juga punya benda pusaka berupa selimut, karena tak semua orang punya tuh mbak… apalagi dari Mama tercinta. Keren banget.

  7. wahh so sweet Mba… mungkin motif pada selimutnya ada arti tersendiri bagi mamanya Mbak yg menggambarkan sosok anaknya(Mbak) – bukan sisi kekanak2annya loh.. 😀 mungkin supaya kehidupan anaknya terus bersinar. aamiin.. . 🙂

Tinggalkan Balasan ke mama hilsya Batalkan balasan