Dari peternakan ayam di Cibentang

Setiap pulang dari lapangan, pasti selalu ada cerita baru. Mungkin tidak terlalu menarik, tapi cukuplah untuk nambah-nambah pengetahuan. Kali ini dapat tugas untuk mengadakan pemantauan udara ambien. Lokasi yang dipilih adalah tempat pembakaran briket batubara. Prolognya panjang dan lama. Kerjasama berbagai instansi. Saya sekedar pelaksana (baca : masih tetep kuli, belum naik pangkat)

Hari pertama, sampai juga ke daerah Cibentang, Ciseeng. Pada tau dimana letaknya? Hehe, ini juga kali pertama buat kami kok. Ciseeng terletak di daerah Parung, Bogor. Di Cibentang  banyak sekali bertebaran kandang ayam dari skala kecil sampai menengah. Kami bertemu dengan Koh Aseng dan para pegawainya yang dengan sangat welcome bersedia direpotin. Dari hasil ngobrol basa-basi dan interview, ternyata banyak hal-hal yang baru saya ketahui. Foto di sebelah diambil dari inet, bukan foto kandang ayamnya Koh Aseng.

Pertanyaan utama : “Kenapa lokasi yang dipilih di kandang ayam?”

Jawaban paling singkat, karena lokasi itulah yang menggunakan briket untuk pembakaran. Peternakan yang dimandori Koh Aseng ini  bergelut di bidang anak ayam alias piyik. Jadi mereka memesan anak ayam yang baru menetas dari Subang. Begitu sampai di peternakan, anak ayam itu masih butuh kehangatan..* jiah, haha* supaya bisa bertahan hidup. Maka digunakanlah penghangat dari briket batubara yang dibakar dalam tungku dan disimpan di dalam kandang. Optimal  selama 7 hari terutama saat musim hujan. Pemanasan ini juga harus tepat, karena jika kepanasan piyik-piyik akan menderita penyakit. Mulutnya menganga dan ‘ngorok’ (istilah sakit untuk anak ayam yang kepanasan). Mereka tidak akan bisa dipanen, makan tetap banyak tapi tidak akan mencapai berat badan ideal. Piyik yang jumlahnya ribuan ini diberi pakan dan dihangatkan sampai akhirnya bisa dipanen pada usia 21 hari. Beratnya sekitar 1 kg.

Pertanyaan iseng no 1 : “Koh, gimana cara ngitung jumlah ayam yang ribuan?” hihi…

Jawaban Koh Aseng : “Bu, ini satu kotak isinya ada 100 piyik. Cuma beberapa kotak aja yang kita hitung beneran. Sisanya percaya”. Asli kirain saya, mereka beneran ngitung satu-satu. Kebayang kan gimana ceritanya kalo  anak ayam itu lari-lari? 😀

Pertanyaan agak serius no 2 : “Kalo lagi bakar briket, apa piyik-piyik ga sakit pernafasan/kena pnemonia?”

Kalo bisa ngomong, pasti pada protes bilang ga enak. Ini saya jawab sendiri agak ilmiah dengan sisa ilmu kimia yang pernah dimiliki *moga-moga ga salah, kalo salah tolong dikoreksi*. Briket yang terbuat dari batubara, terdiri dari rantai karbon siklo (benzena) dengan berat molekul tinggi. Pembakaran di kandang hanya terjadi pada suhu rendah, sehingga tidak terjadi pembakaran yang melepaskan CO2 dan H2O dengan sempurna. Akibatnya asap yang membawa partikulat dan dihirup mahluk hidup hanya akan berada di bagian atas paru-paru sehingga berpotensi menimbulkan penyakit radang paru-paru. Jangankan mereka yang sampai 7 hari non stop dengan briket.. saya aja yang pas kebetulan ada di sekitar tungku briket, langsung megap-megap sesak nafas terkena asapnya. Duh.. kasian banget ya nasib piyik-piyik itu, hiiks..

Pertanyaan agak serius no 3 : “Kenapa peternak pilih briket untuk pemanasan?”

Jawaban Koh Aseng : “Karena lebih praktis dan ringkas. Jika memilih kayu bakar, kayu agak sulit dicari. Kemudian para anak buah harus bekerja ekstra untuk membelah kayu dan menjemurnya supaya kering. Memakai briket istilahnya pekerjaan malas. Tinggal simpan di tungku lalu dibakar, dan ditinggal. Jadi itu memudahkan pekerjaan anak buah.” Saya manggut-manggut.

Selanjutnya dimulailah pekerjaan kami. Jadi bintang hot, panas-panasan angkat-angkat barang sana-sini. Pasang alat, tunggu satu jam lalu diukur. Ulangi 3 kali dalam sehari mewakili waktu pagi siang dan sore. Di lokasi, seorang teman sempat bertemu dengan ular kobra. Hayyah.. bikin keder aje! Udah gitu kita harus melewati pematang sawah yang becek dan di pinggirnya ditumbuhi ilalang tinggi. Serasa lagi main di sawah, bukannya kerja.

Matahari terik di siang hari memaksa kami mencari tempat berteduh. Nah, di antara jeda menunggu itulah terasa nikmatnya berada di tengah sawah dan kolam ikan. Kami “menguasai’ saung milik para mamang-mamang tadi. Meski dikelilingi karung gabah dan pakan ayam, tetap aja saya bisa mimpi sejenak. Semilir angin membuat mata tak bisa bertahan lagi. Ngantuk dan akhirnya tertidur sekejap. Lumayaan… zzz. Kalo udah cape gitu, udah ga inget ama springbed empuk deh. 😀