Jay and me

Jay (nama samaran yang sangat keren) adalah teman semasa remaja saya.  Ia  salah satu dari sekian banyak (hiperbola) ‘penggemar’ saya. Masa kejayaan sebagai kembang desa memang hanya terjadi semasa sma saja, hihi.. Jika dilihat dari foto-foto jadul, penampakan jaman abg saat itu memang terlihat sedikit lebih manis dibanding sekarang. Tinggi kurus, imut, wajah manis dengan poni jambul yang paling ngetrend saat itu.. *ya ampuuun, muji-muji sendiri* ..meski tetap dibarengi bakat galak tak terkira.

Jay di kala itu adalah salah satu remaja kampung yang mungkin hanya dipandang orang sesaat saja.  Cungkring, ikal, tidak tinggi, biasa-biasa saja, ga cakep (hahaa..) tetapi baik hati. Ternyata ia juga pandai. Jadi ketika ia sempat menyatakan perasaannya pada saya lewat surat, kepandaiannya dipacu lewat perasaan kagumnya pada saya yang di kala itu termasuk anggota top ten (meski pangais bungsu). Persaingan yang ketat dan pelajaran yang sulit saat sma membuat kami menjadi kutu buku dan kurang gaul. Lain halnya dengan teman-teman yang memang dikarunai otak encer dari lahir. Kami harus mati-matian bekerja keras demi lulus ujian tulis dan praktikum.

Kembali pada  cerita Jay. Setelah dengan susah payah ia memberikan surat cinta pada saya yang berakhir dengan penolakan tanpa tanda jeda sampai akhir sekolah, akhirnya kami tidak pernah bicara satu sama lain. Tepatnya saya menghindar habis-habisan. Saya begitu benci dan merasa dikhianati dengan persahabatan tulus kami sebelumnya.  Maklum waktu itu baru 15-16 tahun. Belum mau jatuh cinta. Atau mungkin karena yang naksir kurang keren semua ya? hihi… Saya menutup pintu akses rapat-rapat dan tidak ingin bertemu lagi. Meski saat ia menikah, saya menyempatkan diri untuk hadir.

Time goes by. Setelah maraknya jejaring sosial Friendster, saat itu saya dikejutkan dengan sebuah permintaan pertemanan darinya. Dalam imel pun, ia sempat menuliskan bahwa ia sengaja mencari nama saya via google dan mendapati foto-foto saya saat mengikuti training di luar negeri. Akhirnya kami  berjumpa lagi via situs pertemanan lain atau lewat blog. Mungkin saat itu ia masih tetap ‘mengagumi’ saya.. huahaha, ge-er!

Dalam suatu kesempatan pertemuan akbar dengan teman-teman, akhirnya kami berjumpa lagi dengan membawa cerita baru. Ternyata ia saat ini tampil dalam bentuk yang lebih berisi, baik penampakan maupun kantongnya.. *hei..cewek matre ke laut aje!*. Ia telah menjadi pekerja BUMN yang cukup sukses, punya kesempatan untuk sering bepergian ke luar negeri. Bukan hanya level Asia seperti saya, tapi jajahannya Eropa dan saat ini akan Amerika euy.. *bikin siriiik*

Pertemuan saat usia yang lebih dewasa ini membawa kami dalam pertemanan yang lebih dewasa juga. Dalam arti, kami tidak pernah membawa sesuatu yang berkaitan dengan perasaan masa lalu. Ia dengan bijak tetap bersikap baik pada saya, meski ia tahu bahwa hati saya tidak pernah ada sedikitpun untuknya.. jiaah. Saya tetap menganggap dia teman biasa. Never crush on him. Saya mengenalkan ia pada anggota keluarga, yang berakhir dengan obrolan akrab dan santai diantara lelaki. Kadang ia juga mendatangi kami di rumah. Bersenda gurau dengan anak-anak. Segalanya terasa lebih tulus dan menyenangkan.

Mungkin juga dengan diri Jay saya menemukan seorang sahabat dalam arti sebenarnya. Meski tidak intens keep in touch tapi kami tetap saling peduli satu sama lain. Yang paling monumental adalah ketika ia curhat pada saya, bahwa ia berpikir untuk menikah lagi. Antara kaget dan ingin tertawa, namun saya menanggapinya dengan gaya sok bijak tiada tara dengan berbagai pertimbangan. Intinya saya mendukung apapun keputusannya. Kebetulan saya juga mengenal sang wanita kedua itu. Meski tadinya ada jarak yang tidak bisa membuat saya akrab karena ternyata wanita itu sedikit cemburu dengan pertemanan kami.. *walah, nasibku yang malang*.

Di akhir konversasi, saya sempat berujar padanya dalam bahasa sunda… “hadena urang teh tara bogoh nya? coba mun bogoh.. bisa-bisa ayeuna keur ceurik genggerungan, jadi korban hati yang luka” 😀 (terjemahan bebas : untung ya gue ga pernah jatuh cinta ama elo? kalo iya.. bisa-bisa lagi nangis meraung-raung jadi korban hati yang luka). Ia hanya tersenyum simpul mendengar celotehan saya, “Ah.. kamu mah ada-ada aja. Ga bakalan atuh!”

Ah Jay, but still .. you’re the best friend I’ve ever have.